kisah kain kafan

Hari ini ada ribuan gulung kain, diperjual-belikan di pasar-pasar di kota ini,


Hari ini ada sedemikian banyak kain putih, yang sedang dibeli, diukur dan dipotong,


Hari ini ada sedemikian banyak kain putih yang siap digunakan sebagai kain kafan,


Hari ini ada sedemikian banyak kain kafan yang seolah bertanya untuk siapa ia akan dibeli.

Esok hari, siapa gerangan pembeli berikutnya,


Bisa jadi kain putih itu akan dibeli orang yang tidak kita kenal,
Bisa jadi kain putih itu kita sendiri yang membelinya untuk tetangga atau keluarga terdekat kita,
Bisa jadi seseorang sedang membelikannya untuk jenazah kita yang sedang menunggu dikubur,


Engkau boleh saja tertawa, tapi bisa jadi kain kafanmu ada di truk pengirim barang yang sedang diparkir di pinggir toko kain itu,


Engkau boleh saja berencana, tapi bisa jadi kain kafanmu sedang dipesan si pemilik toko,


Engkau boleh saja tidur nyenyak, tapi bisa jadi seorang penenun sedang memintal kain kafanmu.


Engkau boleh saja menikmati keindahan alam pertanian, tapi boleh jadi seorang petani sedang memanen kapas bahan kain kafanmu.


Kita tidak tahu kapan hidup kita berakhir,
Kita juga tidak tahu kain kafan mana yang akan menemani kita di kuburan,


Tapi yang jelas kain itu ada di suatu tempat,


Kain putih itu sendiri tidak pernah tahu kepada siapa ia akan digunakan,
Seandainya ia bisa berbicara, tentu ia akan meminta agar digunakan pada orang soleh yang selalu mempersiapkan diri untuk kehidupan berikutnya.....

Sunan Kalijaga

Inilah sebuah kisah yang bisa dijadikan tauladan. Kisah seorang pengembara yang berjalan di jalan Allah. Dia aulia yang seniman. Dia bangsawan yang jadi penjahat demi rakyat. Dia manusia arif budiman berkat gemblengan Sunan Bonang. Ya, dia adalah Raden Sahid yang dikenal sebagai Sunan Kalijaga.

Dalam jejak langkah para wali, Sunan Kalijaga dianggap sebagai wali sempurna. Wali paling sukses. Sarat ilmu karena berguru di banyak guru. Wali kreatif via tembang dan wayang. Dan digandrungi jamaah karena sikapnya yang bersahaja tetapi penuh kharisma.

Sunan Bonang guru utama Sunan Kalijaga. Sunan ini yang menyadarkannya akan spiritualitas yang benar. Setelah itu Sunan Gunungjati dan wali-wali lain digali. Dan secara mistis konon Nabi Khidzir juga ikut menyemaikan batin lelaki yang jasadnya dimakamkan di Kadilangu ini.

Ketika melanglang ke Malaka, Syamsi Tabriz disebut-sebut menularkan ajaran padanya. Nama terakhir ini mengingatkan kita pada Jalaluddin Rumi. Penyair cinta itu seperti tersihir ketika Syamsi Tabriz menginterupsi ceramahnya. Rumi terkagum-kagum enggan berpisah. Itu terjadi hingga Syamsi Tabriz mati terbunuh.

Melihat tahun yang terjadi, rasa-rasanya Sunan Kalijaga tidak berguru secara langsung pada Syamsi Tabriz. Hanya jika mengamati dakwah Sunan Kalijaga yang amat berbeda, memberi petunjuk bahwa 'gaya' Syamsi Tabriz sang darwis itu amatlah menyatu. Sunan Kalijaga terus melakukan pengembaraan. Enggan berbusana formal layaknya ustad. Tidak berharap popularitas dengan mengabarkan namanya kesana kemari. Dia bersahaja melangkah dan mensyiarkan agama Allah.

Dia tolak uang bagi jasanya. Dia ikuti sufi yang menjunjung tinggi 'kefakiran' sebagai 'jalan lapang' menuju kebersihan jiwa. Tuntutannya hanya satu, bersyair dan mendalang untuk ditukar syahadat. Syahadatayn, dua kalimah shahadat. Itu pamrihnya, pahala, ridho Allah.

Maka, di setiap daerah, malam-malam yang lengang selalu digempitakan suara dan ketangkasan tangan lelaki yang pernah dikenal berangasan sebagai begal Lokajaya ini. Kalimatnya indah berisi kata-kata pilihan. Suaranya memperhatikan diksi,intonansi dan aksentuasi. Dan wajahnya yang ekspresif, memberi tempat istimewa bagi setiap penampilannya.

Gambaran macam itu bisa dilacak melalui Serat Walisana, dan beberapa karya Sunan Kalijaga. Dewaruci dan Serat Kalimasada adalah sebagian karya Kalijaga. Cerita itu sarat dengan pentokohan yang diambil dari India. Namun dalam pengkisahannya, terkandung dakwah yang kental. Kebenaran universal itu begitu liris dan mengena karena dibungkus rapi dan indah.

Mungkin karena itu, di Mataram-Lombok, kendati banyak saudara kita yang beragama Hindu, tapi sampai sekarang mereka masih sangat menyukai Kisah Menak yang menjadi roh cerita wayang setempat. Memang Islamisasi di kawasan ini dilakukan Sunan Giri Prapen. Namun akulturasi budaya kemasan Sunan Kalijaga itu tetap bisa diterima dimana saja. Itu karena dilakukan secara pseudo dan harmonis. Bukan asal-asalan.

Di Jawa Barat (Pajajaran) pengabar agama Allah ini dikenali sebagai Ki Seda Brangti. Bagi warga yang kala itu belum Islam, penampilan lelaki ini sangat dinanti. Bukan kabar soal kebenaran yang dibawa yang masih dianggap asing, tetapi lebih pada suara dan gerakan tangannya. Gerakan itu penuh gairah. Vitalitas. Membangkitkan semangat dan memberikan suntikan untuk berlomba-lomba menuju kebaikan.

Di daerah Jawa tengah, khususnya Tegal, lelaki yang sama ini dijuluki Ki Benguk. Dia dalang. Wayang banongan yang dibawanya mempesona banyak orang. Wayang itu seperti hidup. Gerakannya yang ekspresif dan mistis memotivasi penanggap dan penonton. Ini pangkal percepatan warga Jawa Tengah mengakrabi Islam.

Apalagi di Semarang, Adipati Pandanarang yang segalanya diukur dengan harta harus tunduk dengan Sunan Kalijaga. Sang sunan dengan bahasa lembut bercerita tentang jalan hidupnya. Dia tak bergairah lagi dengan tahta dan harta. Dan untuk pagelaran yang diminta sang pangeran, Sunan Kalijaga dengan santun berkata. "Yen pareng kulo nyenyuwun ungeling bedug Semarang," katanya seperti tertera dalam Serat Walisana. Dia hanya berharap 'suara bedug' di Semarang. Suara orang mengucap syahadat bergema di Semarang.

Dan di kawasan Jawa Timur (sekarang), lelaki ini terkenal sebagai Kuncara Purba. Namanya menjadi jaminan bagi berkumpulnya banyak jamaah. 'Sabetan' wayang yang dibawakan Sunan Kalijaga telah mendarah-daging. Dan lantunan kata yang tersaji melalui suluk telah berubah menjadi 'mantra'. Itu yang menampilkan wilayah Pantai Utara (Pantura) sebagai basis Islam hingga hari ini.

Kisah hidup Sunan Kalijaga itu memberi arah bagi kita. Berdakwah tidaklah susah jika pamrihnya untuk mencari pahala Allah. Membentuk diri sendiri menjadi baik adalah kuncinya. Mempraktekkan kebaikan merupakan kewajiban. Dan membantu orang lain yang membutuhkan adalah keharusan. Jika itu dilakukan tiap pribadi, rasanya, dunia dan akherat akan sama nikmatnya. Sama-sama menjadi firdaus.

Penulis: Djoko Su'ud Sukahar, pemerhati budaya, tinggal di Jakarta.

Jangan bilang terserah Allah

Seandainya Rasulullah berkata, “Terserah....…” ketika Malaikat menawarkan diri untuk membalikkan gunung untuk ditimpakan kepada masyarakat Thaif yang telah menolak, menghina dan mendzalimi Rasulullah dan para sahabatnya, mungkin tidak ada orang beriman dari kota Thaif, dan cerita selanjutnya pun akan berbeda.

Kalau Muhammad Rasulullah Saw kecewa dan marah, dan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah dan malaikat-Nya untuk memberikan ganjaran yang setimpal –atau seberat-beratnya- kepada para penduduk yang membenci dan mencederainya, maka sejarah tentang keteladanan Muhammad tidak akan terukir indah.

Sebab segala apa yang dilakukan Rasulullah, sejak dari kecil hingga besar, mulai dari diamnya, kata-katanya, duduk, berdiri dan jalannya, serta gerak-gerik sekecil apapun adalah kisah-kisah indah yang tak terpisahkan.

Misalkan masyarakat Thaif benar-benar musnah setelah ditimbun gunung atas seizin Rasulullah, dan masyarakat di kota-kota lainnya melihat apa yang terjadi di Thaif itu, mungkin mereka yang sebelumnya terpesona dengan ajaran Islam akan mundur dan lari dari Islam. Yang semula memuji akhlak Muhammad, akan mencibir dan tak lagi mau menjadi pengikutnya, menyelami dan mengamalkan ajarannya.

Muhammad memang manusia pilihan, dan pilihan Allah tidak pernah salah. Ketika Thaif menghujaninya dengan batu hingga ia terluka, bahkan malaikat yang konon tak memiliki perasaan pun bisa marah hingga menawari Muhammad untuk membalikkan sebuah gunung ke masyarakat Thaif, Muhammad menolaknya, “Mereka hanya belum tahu....…” ini jawaban dari lidah yang senantiasa terperlihara indah itu.

Nabi Allah yang terkenal karena kemuliaan hati dan akhlaknya itu tak sedikitpun marah, apalagi menaruh dendam atas penolakan dan penghinaan yang diterimanya.
Padahal, kalau ia mau, orang yang meludahinya bisa saja tiba-tiba tidak bisa bicara, atau putus lidahnya.
Kemudian orang yang menghina mulutnya penuh borok yang tak kan pernah sembuh seumur hidup.
Batu yang diarahkan ke dirinya berbalik mengenai yang si pelempar, yang menendang kakinya lumpuh, bahkan sekadar memeloti saja bisa buta.

Muhammad bisa bilang, “Ya Allah, dia mengejek saya, cabut nyawanya sekarang” maka matilah orang itu.
Bisa juga Muhammad berdoa, “Ya Allah, siapapun yang menolak saya, putuskan rezekinya”, atau doa, “Orang ini tak menerima ajaran Islam, bahkan menghasut orang lain untuk menolaknya, buatlah ia miskin ya Allah”.
Atau setidaknya menyerahkan sepenuhnya kepada Allah, “Terserah Engkau ya Allah akan ditimpakan musibah jenis apa mereka yang telah menghina agama-Mu…”

Tapi fasilitas itu tidak diminta oleh Muhammad, karena ia tahu masyarakat akan semakin menolak dan membencinya.

Dakwah Rasulullah justru berhasil dengan kemuliaan akhlak dan tutur kata. Keindahan perilaku Muhammad berbuah manis dengan diterimanya Islam di kemudian hari.

Bedanya dengan kita, diejek teman tidak cukup balas mengejek, ditambah memukul plus sebaris sumpah, “Saya sumpahin mulutmu sobek…”.

Ada teman yang mengambil makanan di meja tanpa izin, si pemilik berucap, “Yang makan makanan saya perutnya buncit seumur hidup”.

Pernah juga kita mendengar, “Saya sumpahin tertabrak kereta itu orang,” dari mulut orang yang baru saja kecopetan.

Ketika didzalimi, kemudian kita menangis dan meminta bantuan Allah, “Ya Allah, hukumlah seberat-beratnya orang ini…”.

Cerita lain, “dia sudah menyakiti saya selama bertahun-tahun, kebahagiaan saya adalah kalau melihat dia sengsara seumur hidup…”

Maka tak heran banyak fenomena yang menjadi pelajaran berharga bagi kita, ada orang yang selama berhari-hari sebelum meninggal berteriak kepanasan lantaran mencaplok hak orang lain secara semena-mena, dan baru meninggal kemudian setelah orang bersangkutan datang dan memaafkannya.

Ada anak terlahir tidak bisa bicara karena ibunya pernah menghina saudaranya, dan saudaranya pernah berucap, “Saya tidak ikhlas dihina, saya doain semua keturunan kamu nggak bisa ngomong…” dan masih banyak kejadian lainnya.

Doa orang yang didzalimi tidak ada batas, bisa langsung terijabah.
Hati-hati dengan doa yang diucapkan ketika kita marah dalam keadaan terdzalimi, perselisihan yang semestinya bisa diselesaikan dalam waktu beberapa hari, bisa berkepanjangan akibat sumpah dan doa buruk dari kita.

Rasulullah mencontohkan dua hal; maafkan dan doakan untuk kebaikannya. Tidak perlu merasa rugi mendoakan kebaikan untuknya, Insya Allah kita mendapatkan lebih banyak kebaikan dari yang ia terima.

Semoga kita bisa meneladani beliau.